Mengidentifikasi Peluang Produk di Masa Krisis

Mengidentifikasi Peluang Produk di Masa Krisis

Ide produk selalu dicari setiap saat. Apalagi di masa krisis semacam ini, tekanan untuk mencari produk baru menjadi kian bertambah. Ada banyak cara dalam mencari ide produk untuk dikembangkan dan dimonetisasi. Berikut adalah beberapa tips yang penulis dapatkan setelah membaca sebagian Purple Cow.

  • Jangan mulai dari produk jadi! Mencari pasar lebih susah daripada membuat produk. Banyak di antara kita, dan bahkan saya sebelumnya, selalu memikirkan bentuk produk. Coba kita berpikir terbalik.
  • Temukan apa yang kurang. Cari tahu apakah ada sesuatu yang hilang dalam suatu aktifitas. Adakah hal-hal yang bisa diubah yang akan memberikan manfaat bagi sekelompok orang. Yang dicari bukanlah pengubahan setengah-setengah, yang kompromis, atau aman. Yang aman, kompromis, dan setengah-setengah tak akan terlihat oleh konsumen. Anda harus menciptakan produk yang stand out (mencolok). Mungkin mie instan porsi satu setengah, atau mie ayam kalengan.
  • Analisa kemampuan pasar. Pastikan pasar cukup potensial untuk diterjuni. Potensial bisa berarti punya daya konsumsi yang memadai. Jangan sampai tidak tersedia cukup konsumen untuk membuat Anda bisa balik modal. Dan lebih baik lagi jika pasar mempunyai potensi bisa dijaga tetap kondusif (sustainable). Apakah ada cukup banyak orang yang mampu membeli produk kita. “Mau” tidak disebutkan di sini karena itu harus dipecahkan oleh keunggulan calon produk kita. Cukup banyakkah orang yang mengidamkan mie instan porsi satu setengah dan mie ayam kalengan?
  • Identifikasi pengguna awal. Pengguna awal ini sangat penting karena merekalah yang akan menentukan keberhasilan produk Anda. Jika produk Anda memang layak dikonsumsi, pengguna awal ini tak akan segan bersusah payah mempengaruhi yang lain untuk menggunakan produk Anda. Kondisi krisis membuat konsumen menjadi lebih peka dan sensitif. Kondisi ini akan memudahkan pencarian pengguna awal karena jumlahnya akan lebih banyak dan tingkat pengharapan akan produk baru lebih tinggi daripada kondisi non krisis. Apakah anak kos adalah pengguna awal yang kita cari bagi mie instan porsi satu setengah?

Bonus #1
Better product does not always mean better revenue. Produk yang lebih wah, tidak selalu membawa revenue lebih wah juga. Anda membuat produk untuk mencari keuntungan atau tidak?

Bonus #2
Salah satu cara untuk mengetahui kebutuhan pasar adalah dengan jalan menyempitkan peserta sampling. Misalnya alih-alih pasar Indonesia menjadi pasar mahasiswa Indonesia. Lebih sempit lagi, pasar mahasiswa S1 di Yogyakarta, Indonesia

Setelah ide produk ditemukan, kini yang tertinggal adalah mengeksekusi produk untuk memenuhi apa yang dibutuhkan. Dimulai dari orang-orang yang paling membutuhkan atau mau mencoba. Anda punya perdapat, pertimbangan atau pertanyaan?

Photo by Gaetan Lee

8 thoughts on “Mengidentifikasi Peluang Produk di Masa Krisis

  1. Kalo boleh nambahin, ada dua faktor lagi yang harus dipertimbangkan mengenai produk yang akan digunakan oleh konsumen. Produk harus mudah digunakan dan harga sama nilai harus sepadan.

    Inget produk Tara Nasiku? (eh.. Bener ya Tara? Tara? Kara? Ya itu lah :D) Dari segi produk, itu udah cukup lumayan lah. Nasi, orang Indo itu kalo ga makan nasi bilangnya belum makan. Instan, itu nasi instan. Dan hey, nasi instan sepertinya ide bagus.

    Tapi produk itu gagal. Alasannya, masaknya susah. Persepsi ‘makanan instan’ di kepala konsumen adalah ‘tinggal siram air panas, beres’. Kalopun harus masak ya cukup 3 menit dan ga usah diuprek-uprek lagi 😀 Tapi Tara Nasiku itu masaknya ribet punya, sumpah deh. Yang harus dimasak dulu lah, terus tutup pancinya dibuka dikit terus ditungguin berapa menit lah, terus dimasak lagi lah…

    Dan konsumen Indonesia benci hal yang ribet-ribet 😀 *termasuk saya, hohoh*

    Akhirnya, muncullah ‘Nasi Instant’ dari Garudafood. Sangat mudah masaknya. Siram aja pake air panas, tutup terus tungguin. Ga ada beda sama Pop Mie.

    Tapi itu juga gagal.

    Alasannya, harga. Itu nasinya seiprit. Dan maksudku seiprit itu ya SEIPRIT. Harganya kalo ga salah itu 4000-5000 IDR deh. 5000 IDR mah mendingan aku beli nasi goreng tektek depan kampus te’ iye? 😀

    Tapi untuk faktor harga ini juga harus diingat kalo ga semuanya bisa dinilai dengan uang *AJEGILE CIE CIE PRIKITIW DAH GUE NGOMONGNYA* Tentu aja nasi instant gagal karena harga yang ga sesuai. Kenapa? Karena nasi adalah barang komoditas. Gampang dicari. Banyak tersedia. Kalau produk yang kita punya itu adalah produk langka/eksklusif, harga bisa saja bukan merupakan masalah 😉 Yang penting valuenya tepat 😀

    Nah, begimana cara membuat produk/jasa menjadi eksklusif, NavinoT pernah mengulasnya di sini 😀 *sekalian promosi te’ iye mas Toni?*

  2. memang sekarang ini antara produk dan pemasaran hasus seimbang. kita punya produk bagus, namun tidak tau pemasarannya kemana ya sama saja bohong, untuk itu brand dan manfaat produk harus jelas dan terbukti.

  3. Mungkin segmentasi pasar pun perlu dilakukan. Ditujukan untuk kalangan manakah produk itu. Apakah untuk anak-anak, remaja, pemuda, atau dewasa. Mungkin itu tambahan dari saya.

Comments are closed.

Comments are closed.