Customer Experience: Zero-Sum Game
Experiential adalah unsur penting dalam pemasaran. Experiential adalah pengalaman atau realita personal. Tidak terbatas pada pengalaman yang ditimbulkan dari manfaat barang, tapi mulai dari pengalaman sebelum membeli sampai barang tersebut habis fungsinya.
Experiential disini mirip dengan zero sum game. Siapa lawan siapa? Tentu saja good experience vs bad experience. Masing-masing pengalaman akan dinilai dan kemudian dijumlahkan. Pengalaman bisa bernilai negatif jika memang berada di bawah batas toleransi. Berbeda sedikit dengan zero-sum game, nilai total pengalaman di sini bisa berada di bawah nol.
Jadi, walau manfaat produk adalah besar namun sisanya adalah banyak pengalaman negatif maka nilai total experentialnya bisa negatif. Contoh: tempat nyaman namun makanan dan service tidak karuan. Makanan enak tapi tempat sempit. Karena kita (kini) telah tahu formula ini, sekarang kita bisa mengatur strategi.
Memberikan total pengalaman positif tidak selalu mudah. Modal dan resource bisa jadi pengganjal. Namun dengan memasukkan nilai-nilai yang tepat pada rumus yang sama bisa berujung pada nilai optimal. Perbanyak nilai positif dan minimalkan nilai negatif. Tempat yg sempit bisa dikompensasi dengan rasa yang enak walau porsi agak dikurangi. Tapi jangan kebablasan, malah menghilangkan nilai utama yang hendak dijual. Jangan sampai rumah makan tak memiliki makanan untuk dijual 😉
Bagaimana dengan produk Anda? Blog Anda? Total nilai experience-nya berapa?
10 thoughts on “Customer Experience: Zero-Sum Game”
Berati untuk mengetahui nilai total dari produk kita terhadap konsumen, kita harus mengetahui penilaian konsumen terlebih dahulu donk.
Dengan begitu berarti konsumen harus memberikan feedback terhadap produk kita secara sukarela tanpa diminta, atau kita harus menanyakannya langsung…seperti meminta kritik.
Lalu kalau sebuah blog, apakah nilai total pengalaman pengunjung dilihat dari kualitas konten atau bagus tidaknya desain yang dipakai?
Trims.
@ Amal _ kalau untuk blog/website sepertinya konten dan desain harus sama2 di kejar, tidak bisa salah satu saja yang menonjol, apalagi di jaman sekarang ini..
dinilainya dari apa? Jumlah komen? Alexa? Page Rank? Agak rumit ya, karena penilaiannya sangat subjektif. Kalo penilaian untuk Navinot : 9 out of 10. 🙂
@Richard Fang
Betul juga sih, pengunjung sekarang lebih kritis soal desain, sprnya memang harus punya desain web/blog yang eksklusif dan nyaman dilihat
@rama
Jangan lupa pelanggan feednya 🙂
Lidah orang beda2, dan blog seperti juga makanan, user experience yg baguspun tidak akan menjamin mereka selalu makan di tempat yg sama.
Misal blog adalah warung bakso, sebatas bakso enak & tempat nyaman & lega cukuplah. Seenak apapun bakso dan fasilitas yg diberikan, orang tdk mungkin makan bakso terus2an. Ada waktunya keinginannya beda..
Yg penting konsisten aja. Orang datang n pergi udah biasa…
@Ceria Jogja
Kalau user experience bagus, lain kali kalau mereka ingin makan bakso pasti inget kita. Kita akan selalu masuk radar. Kalau ada teman tanya tempat makan bakso, pasti kita direkomendasikan :D.
Tapi Anda benar, orang datang dan pergi itu sudah biasa. Yang penting kan orangnya tidak cepet-cepet pergi dan kalaupun pergi pastikan masih mau kembali ke sini. Entah dia sendiri atau temannya 😉
Tapi:
Bakso B rasanya sama enaknya dengan Bakso A
Bakso B pakai AC, jadi lebih nyaman dan bebas nyamuk & lalat
Bakso B lebih mahal x% dari Bakso A
Masih ada pertimbangan ga untuk makan Bakso B? Saya sih mikir, daripada digigit nyamuk demam berdarah di bakso A. 🙂
Klo itu sih masalah segmen n komunitas. Nggak jarang yg penuh lalat juga yg makan banyak bgt. Di pasar2 tradisional atau terminal contohnya.
Confort itu relatif. Harga sama, enaknya juga sama, tapi yg lebih mewah bisa kalah jauh sama yg seadanya krn salah segmen. Di tempat sederhana tadi, orang2nya suka makan sambil kakinya nangkring, buang kulit kacang di mana aja, ngerokok bebas, n bisa teriak2 seenaknya.
Meski ac, enaknya sama, harganya sama. Yg mewah td nggak laku…, jd kembali lagi, comfort itu relatif tgt usernya/konsumennya.
@ ceria jogja _ iya sih betul juga.. kita ga bisa memuaskan semua user/customer, harus pilih target dan pasar.. mungkin ada user yg pentingin baksonya aja, bodo amat mau makan di atas got kek (pengalaman pribadi :P), tapi ada juga yg mentingin servicenya, tempatnya, dll selain emang baksonya enak.
tapi klo yang kita bahas disini bukan pasarnya, kualitas yg bagus ya bagus, jelek ya jelek.. that’s it..
so customer experience tetep jadi salah satu senjata untuk raih pasar.
Memang customer experience adalah senjata ampuh, tapi experiental dalam opini saya sih lebih ke preference, bukan kualitas. Ya spt bakso tadi. Orang yg suka merokok, meludah sembarangan, dlsb bakalan prefer sama yg bisa mengakomodasi kebutuhan & keinginannya. Dia juga bakalan ajak2 orang yg setipe sama dia. Akhirnya terbentuk komunitas dgn preferensi yg serupa. Makanya, utk experiental, saya lebih condong ke segmen. Apalagi kalau penilai ‘kualitas’ itu adalah user. Absurd. Kita bisa bilang kecap kita nomor satu, tapi pada kenyataannya user selalu punya preferensi ‘kualitas’ mereka sendiri. Jadi jangan bersandar ke kualitas, bersandar saja pada experience positif. Itu lebih luas variabelnya dan lebih mengena.
Comments are closed.