Transformasi Bisnis: Kapan?

Transformasi Bisnis: Kapan?

Masih terkait dengan artikel tempo hari tentang “Web Business: Telat atau Keep Trying”. Jika kita amati komentar-komentarnya, ternyata rata-rata yang menjawab “tidak telat”. Dasar jawabannya bisa jadi optimisme, pikiran positif, atau justru denial (penolakan) secara implisit. Kenapa orang tidak ingin/senang menyadari dirinya dalam posisi yang salah?

Kemarin, saya membaca slide yang inspiratif tentang beberapa perusahaan yang bergerak di bidang Social Recommendation service. Sisi teknologinya tak perlu dibahas dulu. Yang menarik adalah bagaimana salah satu dari perusahaan tersebut memunculkan ide baru untuk dimonetisasi.

Strands.com, mungkin kalah gaungnya dibanding last.fm. Strands.com mirip dengan last.fm dalam hal kemampuannya untuk memberikan rekomendasi musik-musik baru yang sesuai dengan preferensi pendengar. Kita bisa meng-install aplikasinya di smartphone kita untuk meng-enhance experience dalam mendengarkan musik. Aplikasi tersebut bisa memberikan informasi tentang siapa yang juga mendengarkan lagu tersebut, biografi dan diskografi artis serta rekomendasi artis atau musik yang mirip.

Joker: If you are good at something, never do it for free

Ternyata, Strands.com kini menawarkan layanan rekomendasi tersebut secara komersil. Strands tahu mereka punya keahlian khusus dalam membuat rekomendasi yang bisa diaplikasikan dalam berbagai bidang/media. Hasil nyatanya? IHeartMovies.com bisa menambahkan fitur movie recommendation hanya dalam hitungan satu jam.

Mari kita lihat slide-nya untuk mengetahu bahwa satu jam itu bisa dianggap prestasi memukau atau tidak. Bayangkan jika kita harus membuatnya sendiri.

Now it begs me a question. Tidak akan saya tanya kembali tentang telat atau tidak. Tapi akan saya tanya, apakah Anda tidak melewatkan apa yang benar-benar menjadi keahlian Anda dan justru lebih layak Anda jual?

PS: Sumber bacaan di sini.

7 thoughts on “Transformasi Bisnis: Kapan?

  1. iya, smith yang ekonom itu. yang menganjurkan adanya spesialisasi kerja (dan penggunaan mesin-mesin) sebagai
    sarana utama untuk peningkatan produksi. orang berbondong bondong jadi pekerja. Lama-lama jadi budaya pekerja, yang cuman bisa satu skill aja. Ketika industri paceklik, ternyata skill yang tadi berharga sulit diterima di tempat lain.

    Orang sadar bahwa jadi spesialis aja gak cukup, maka berbondong-bondong memilih jadi generalis.

    Kenyataannya, jadi generalis juga gak cukup, untuk bertahan hidup, butuh keistimewaan spesifik yang dibutuhkan orang lain.

    Dititik ini, alur pemikiran saya bertemu dengan paragraf terakhir posting ini. Dan selanjutnya muncul pemikiran, bagaimana kita (saya) bisa tahu keahlian kita mana yang bisa dijual ? (mungkin ini sebuah pertanyaan ttg definisi : what, sebelum berpikir when ?)

    anyway, nice posting, excellent presentation.

  2. @ dadan _ Kenyataannya, jadi generalis juga gak cukup, untuk bertahan hidup, butuh keistimewaan spesifik yang dibutuhkan orang lain.

    setuju banget sama yang ini, muncul lagi satu pertanyaan, kalau kita suka melakukan/mengerjakan nya gimana? apakah itu benar pilihan yg tepat?

    penilaian tepat tidaknya darimana? duit/prestasi? karena kedua hal tersebut jarang yang mendapatkannya sewaktu baru mulai memutuskan untuk melakukan sesuatu..

    berat nih Ton postingannya, make me thinks a lot, lol!

  3. Klo mental pengusaha, biasanya lsg tancap dulu. Klo dah jalan, baru liat2 potensi, apa yg hrs dimaksimalkan. Jln sb liat demand. Klo pekerja sbaliknya. Fokus ke keahlian dulu, baru nyari2 demandnya. Kyaknya emg kembali k kitanya sdr, lbh cocok ke yg mana. Klo saya sih cenderung k yg pertama, jd keahlian g sia2. Klo yg kedua, bisa2 kyak pertanyaan toni. Ga salah job ni? Ya gmana lg, keahlian ndak laku je. Ga kurang2 lulusan teknik kerjanya mlh jd marketing ato bankir.

Comments are closed.

Comments are closed.