Ongkos Desain Yang Tidak Diakui
Di Indonesia, semua orang maunya serba murah. Murah dalam arti material, kualitas, bahan, termasuk desain. Hal yang berbau premium sudah pasti membuat konsumen beraksi menjauhi.
Contoh gampangnya adalah desain kartu nama yang merupakan satu hal yang lumayan sepele. Bertujuan untuk bertukar informasi dengan relasi yang baru ditemui. Dalam prakteknya, bila seseorang dikenai biaya premium/ekstra untuk ongkos desain, maka akan ada reaksi lain, yaitu sedikit ketidak-relaan. Walaupun produk tersebut akan mempunyai nilai lebih setelah melewati proses desain.
Selain konsumen yang tidak selalu mampu atau ditekan anggaran, desainer Indonesia masih jarang yang mampu membuktikan bahwa jasa desain yang dilakukan memang mempunyai nilai lebih. Bukan hanya sekedar tampil cantik atau beda.
Akibatnya desainer Indonesia jarang yang berpraktek sebagai desainer lepas dengan kualitas premium. Melainkan harus menekan biaya desain dan bekerja sama dengan unit produksi dengan imbalan komisi.
Efek samping lainnya justru lebih parah. Desainer tidak bisa bekerja sesuai fungsinya dan selalu ditekan oleh anggaran dari sang klien. Yang tadinya bakat untuk berkarya secara kreatif tidak bisa lagi beroperasi normal, bahkan bergeser menjadi salah satu unit produksi dengan waktu yang sangat terbatas.
Hasilnya adalah produk yang setengah matang, atau setengah jadi. Selain bahan yang digunakan tidak memadai, juga hasil karya yang harusnya kreatif, jadi asal-asalan.
Faktor lain adalah prakter jiplak dari desainer lain, yang mungkin tidak terlalu berbakat, atau dihimpit anggaran yang terbatas. Hal ini membuat desainer serius jadi kehilangan hawa untuk bersaing secara semestinya.
Itulah yang kiranya terjadi di dunia kreatif Indonesia. Desain masih terbilang premium, optional, dan hanya bisa dikonsumsi golongan tertentu. Sebagai desainer, apa yang kiranya bisa kita lakukan untuk mendidik publik, bahwa desain itu bukan sekedar tambil cantik atau beda?
Ayo, teman! Ini demi industri kreatif kita!
22 thoughts on “Ongkos Desain Yang Tidak Diakui”
benar, mungkin ini salah satu akibat dari mindset yang selalu di didik untuk menilai semuanya berdasarkan materi alias sesuatu yang nampak.
COntoh : kita dengan mudahnya mengeluarkan jutaan rupiah untuk beli hardware komputer, akan tetapi untuk membeli software yag asli dan legal kita masih enggan.
Sebenarnya mudah saja. Tiap klien punya tujuan dlm tiap langkah. Tentunya ini yg lantas jadi pertanyaan. Seberapa besar kontribusi desain thd tujuan yg ingin dicapai? Tentunya klien melihat dari objectifnya, bukan dari kacamata desainer. Misalkan suatu situs nggak rame krn desainnya jelek. Lantas desainer premium mau menggaransi bahwa desainnya bisa membuat situs itu serame yg diharapkan, maka kerjasama 2 pihak jadi terbuka. Jika desainer hanya mengajukan klaim tanpa indikator korelasi desain thd tujuan klien, ya nanti dulu. Budget buat yang lain dulu. Pandangan klien kurang lebih seperti itu.
ihiks, kenapa contoh yg diambil kartu nama ya? hehehe.
Btw, emang bener yg dibilang, banyak orang mau cetak kartu nama tapi ga punya filenya. Mau custom desain gak mau bayar lebih. Pusing.
Makanya kita sediain template gratis. Kalo mau gratisan ya resikonya dikembarin ama orang lain. Eh, walau gratisan, desainnya bisa dipertanggungjawabkan loh ๐
Baca judulnya tadi gue berharap ada masukan mengenai bagaimana designer bisa meyakinkan clients untuk membayar lebih untuk design job yang mereka minta. Creative thought is not without cost. The abstract nature of it makes it difficult for many people to see the value.
Clients (especially less educated ones) often don’t care about creative process so they fail to see the value.
Disappointed there was no suggestions to change the perception.
klien yang terdidik pun belum tentu sadar pada nilai sebuah desain. Pernah saya menerima permintaan desain logo perumahan elit (dgn nilai jual 500-800jt per unit) dari seorang kenalan yang bisa dibilang sangat high-educated. Awalnya saya kira dia akan paham arti biaya desain, tapi ternyata saya 100% keliru. Dia hanya melihat desain dari sisi teknis belaka, alias buat didepan komputer, diseting, dsj, padahal secara konsep, tuntutannya sangat tinggi. Akhirnya solusi terbaik ya menolak permintaan dan menyelipkan pesan bila keinginan spt itu perlu mendapat penanganan khusus dari tim branding profesional. Saya kira, salah satu cara mendidik klien yang tepat adalah dengan ketegasan dan berani bilang tidak. Setidaknya dari ketegasan ini, terselipkan pesan bahwa ide kreatif itu ada nilainya, bukan hanya ongkos lelah duduk didepan komputer belaka.
sepertinya edukasi terhadap klien mengenai pelayanan premium itu perlu, tujuannya selain membantu designe bekerja dengan lebih kreatif yg ujung-ujungnya menyenangkan client juga.. ๐
sayangnya di kita, anggaran lebih berkuasa.. hehehe
betul juga nih..
ga cuman desain aja yang standar dan menghambat kreativitas bangsa kita, tapi juga konsep2 yang keluar kotak dan sedikit evolved..
itulah Indonesia.. negeri yang pernah dijajah, dan ternyata masih saja menjajah bangsanya sendiri..
Saya pernah baca buku karya orang advertising (sori banget lupa judul dan nama orangnya), yang menceritakan bahwa di dunia advertising, desain juga seringkali nyaris gak ada harganya, yang dihargai cuma medianya saja.
Susah juga kalo saingannya udah sampe banting2an harga sampe segitunya.
secara mendasar negri ini banyak yang menganggap cuap cuap lebih penting dibanding teknik, walaupun bilangnya enggak tapi kenyataannya memang bgitu.. kalau sudah begini, pilihannya adalah posisi client dan produsen dalam peluang pekerjaan harus seimbang dan bebas dari duit dalam opportunity.
Banyak klien yg less educated ttg ini. Banyak cara kita mengatasinya:
1. Kasih tau, minimum pay rate kita. Kalau nilai minimal kita, misalnya 15 jt, ya tunjukkanlah. Tentunya, kita juga harus bisa konsekuen, dengan 15 jt, output apa saja yang kita hasilkan. Dan bedakan, antara creative fee dan production fee. Creative fee itu abstrak, dan silakan menduga2 sendiri “harga diri” kita berapa.
2. Mereka bilang mahal? Ya sudah, ada tawar menawar. Tentukan sampai berapa persen kita mau memotong penawaran kita. Kalau lewat lebih rendah dari itu, kita yg harus berani mengatakan TIDAK. Mereka lalu akan bilang, “Masa segitu aja 12 jt? Ada kok yg bisa ngerjain lebih murah daripada itu.” Kalau sudah begitu, jangan ragu utk menjawab, “Ya silakan, ke dia aja. Jangan kontak saya.”
Intinya, beranilah meninggalkan klien kalau memang dirasakan tidak layak. Memang pasti ini akan jadi dilema untuk desainer awal yg belum punya banyak klien. Tapi kalau dari awal kita sudah salah menentukan pay rate kita sendiri, maka akan selamanya si klien itu akan menawar proyek2 berikutnya dalam kisaran harga itu.
berkaca dulu pada kemampuan sebuah design kita. jika pemain baru mungkin perlu untuk mengesampingkan nilai rupiah dengan mengoptimalkan kemampuan “nilai” sebuah design.
memang kebanyakan orang lebih suka mendengar “disana loh designnya bagus dan murah”
ketika mereka mengerjakan “murah” dengan murahan , maka mereka akan selamanya menjadi murahan.
selanjutnya jika kita mampu membuat “murah” menjadi tidak murahan hal mampu membuat kita menguasi pasar b’arti kita juga akan menguasi harga.
karena kita telah mempunyai kata “disanalah bagus”
dan mau tak mau pula masyarakat akan belajar menilai sebuah karya. karena kita sendiri mampu menghargai karya kita.
mungkin sekedar perbedaan pendapat, tapi aku ngerasa design itu ga bisa diagung2kan di atas nilai materi. aku setuju dengan pendapat @budityas. semua ada ekonominya.
dengan sistem kapitalis yang kita tinggal sekarang ini, kita bisa memilih dengan membeli barang yang punya nilai yang tepat mewakili dengan apa yang kita inginkan.
kenapa kembali di posisi user ? kalau dipandang dalam sudut kapitalis user jelas mereka ingin mendapatkan design bagus dengan harga ekonomis. Karena merekalah yang menentukan pasar.
Karena itu seorang designer kehilangan jati diri asal laku sajalah, lha mampunya user segitu dari pada ndak dapet job.
->Seberapa besar kontribusi desain thd tujuan yg ingin dicapai? Tentunya klien melihat dari “objectifnya”, bukan dari kacamata desainer.
persoalannya kan saat ini disitu ๐ , klo udah bisa objektif mungkin @author pun tidak melemparkan pertanyaan seperti ini.
tulisan menarik.
dan generally, saya setuju dengan pendapat andreas dan pitra, terutama di item berani mengatakan TIDAK.
case ini tidak hanya terjadi di area design. tapi hampir terjadi di seluruh bisnis yang outputnya “tidak terlihat”. software development juga suka begitu kok.
IMHO, point besarnya adalah kita harus bisa “meng-countable-kan” sesuatu yang “uncountable”. ciptakan ukuran. entah dengan harga mandays atau timeline. derivasikan turunannya.
tidak sedikit orang yang hanya mempertimbangkan waktu production belaka. dan tidak mengukur area perencanaan, waktu yang dihabiskan untuk mendapatkan ide, dll. dan kita suka takut untuk menghargai diri sendiri.
satu hal yang menurut saya perlu kita pahami adalah bahwa kita masih berada di area eforia. bahkan anak sma pun bisa bikin perusahaan IT, design dll. dan posisi eforia ini memang yang tercipta adalah ketidakstabilan. dan yang terjadi adalah persaingan yang tidak sehat.
hal ini diperumit oleh pebisnis lain yang masuk ke area ini dan hanya berfikir bisnis. contoh kartu nama itu unik. mari kita lihat betapa banyak pebisnis percetakan, atau advertise yang menawarkan kartunama murah. core mereka sebenarnya di kertas dan cetak, bukan design. dengan basic mereka yang kuat, mereka bisa menghajar nilai seni dari suatu design dalam sebuah paket murah.
dibutuhkan kesabaran dan keyakinan saya fikir. kita sendiri harus yakin bahwa suatu saat nanti akan datang orang-orang yang menghargai karya kita. berani untuk tidak hanya “bertahan hidup”. sebuah impian besar menurut saya akan melewati jalan yang tidak rata. dan itu pilihan.
so, sebenarnya ini tergantung kita. mau sekedar bekerja dan dibayar atau mau menjadi seorang yang profesional. semua ada harganya. dimata saya, itu menunjukkan kelas kita sendiri. itu makanya tidak banyak orang seperti van gogh atau monet. karena dibutuhkan sedikit kegilaan untuk menjadi orang besar.
just 2 cent of me ๐
Saya prihatin dengan pembajakkan di negeri kita.
Mudah2an dengan pemimpin yang baru, akan banyak orang yang kreatif ๐
Saya setuju banget dengan pendapat Pitra. Sebagai pelaku industri, sangatlah penting untuk menjalankan peran mengedukasi market. Karena pola pikir (mindset) masyarakat Indonesia -dalam hal apresiasi nilai karya seni atau intelectual/art property- sangatlah kurang.
Harus berani menunjukkan kualitas pada klien, kualitas design yang kami buat, kami beri nilai sekian. Mungkin ada toleransi (discount) kadang-kadang, tapi jangan sampai itu melecehkan kualitas & nilai seni.
Kalo saya sih mungkin akan berceletuk, “Is it possible dapetin tas Louis Vuitton or Gucci asli di store-nya dengan harga 300 ribu Rupiah?!” Masalah berikutnya, design kita mau dinilai seberapa..
apalagi kalo desainernya jadi PNS hehehe..jadi dibayar sesuai gaji standar PNS deh hehehhe
Setuju banget sama Mas Pitra, dengan adanya Pay Rate maka mereka akan patuh dengan harga design minimal kita, dan tentu disesuaikan dengan keinginan klien serta dipercantik, tapi jika anda designer website jangan lupa untuk memberikan nilai tambah berupa fungsi yang mungkin sangat diperlukan oleh klien
bagaimana ya spy bs dapet template premium tp gratis. hehehehe
Seru nih, para designer (setidaknya punya bakat kesana) pada unjuk gigi dengan berbagai alasan. Semuanya ada benarnya juga. Keep post!
~contohnya kartu nama, sepertinya Indonesia ingin/akan/sudah Go Green (selamatkan bumi) tapi kok pakek kartu nama. Lalu tidak ada lagi dong trend canggihnya alat komunikasi sekarang ini:-p
Comments are closed.