Pain Point

Pain Point

YC make startup like mushroom

Weekend kemarin seorang teman (stwn) melempar link tentang sejarah YCombinator. Why YC? Tentang mengapa YC berdiri, apa yang menjadi alasan mendasar didirikannya YC, dan bagaimana business model YC disusun. Mungkin semua yang tidak beralasan normal memang punya kans besar untuk sukses, demikian pula dengan YC ini.

Jadi, kenapa YC berdiri? Jika Anda sempat menyimak beberapa cerita tentang Paul Graham di NavinoT, Anda pasti tahu bahwa YC berfungsi sebagai Venture Capital yang menolong orang-orang dengan ide cemerlang untuk mendirikan startup impiannya. Tapi tahukah Anda bahwa YC pertama kali didirikan bukan demi menolong orang lain, atau mengumpulkan investasi?

Paul Graham menjelaskan bahwa YC didirikan karena it will be a great hack. Ya, a great hack bagi proses pembentukan startup yang biasanya tedious dan amat susah. Seperti CPU yang bisa di-overclock dan hardware atau software yang bisa dimodifikasi supaya bisa berjalan lebih efisien atau melakukan lebih banyak hal, dengan sentuhan yang tepat ke arah yang tepat YC bisa menyuburkan pertumbuhan startup yang sebelumnya sangat sulit untuk tumbuh.

Okay. Tapi apakah hanya karena noble cause dan konsep hacking yang membuat YC bisa sukses? Bisa bertahan lama sebagai VC dan tidak terbakar karena selalu berinvestasi? Ada satu istilah penting yang saya dapatkan dari ideas.inc: Pain-Point. Produk kita hanya bisa sukses dengan jalan punya masalah yang bisa diselesaikan. Demand belum tentu kelihatan, namun masalah pasti selalu ada pada setiap orang. YC sukses dan bisa bertahan karena bisa menjadi obat bagi calon entrepreneur, sekaligus menjadi obat bagi VC lain yang susah menemukan startup yang potensial. ‘Sisanya’ adalah soal pengaturan pembagian profit dan saham.

Either it is what people want or what people need, both may be correct. Tergantung bagaimana kita melihatnya. What people want is something to ease their pain, eventhough they are not currently looking. What people need is something to solve their visible problem, their top list priority.

So, what’s your pain-point?

8 thoughts on “Pain Point

    1. @Ronald Widha
      Haha, gw malah gak kepikiran kalao advertising dan marketing adalah soal menceritakan atau membuat-buat pain point. Hehehe nice point 🙂

      Welcome back man!

  1. Pain point kok kedengeran kayak strategi promo produsen obat yak…

    Suka nakut – nakutin orang kalo makan ini itu bakal menyebabkan bla..bla..ngeri, syerem, horor pokoknya..

    Ternyata mo nawarin obat biar pada beli.

    1. Saya rasa bukan hanya produsen obat, tapi semua produk. Katakan lah pemutih: “produk ini memutihkan anda sehingga nampak cantik alami bla bla bla..” bukankah itu menciptakan pain-point berupa “putih = cantik dan tidak putih = tidak cantik”? Atau Mac yang “PC = ribet, Mac = Fun”.

      Hmm.. strategi psikologis memang. Otak bawah sadar manusia kan memang mencari nikmat dan menghindari sengsara 😀

      @Toni
      great post, cool point. Kerjaannya entrepreneur memang memecahkan masalah. Masalahnya ada satu, tapi yang punya masalah sejuta jiwa, kalau di cover bisa makmur itu. wkwkwkwk 😛

  2. klo gw ga salah inget, gw pernah baca

    Paul Graham kan sering tuh presentasi tentang kesuksesan startupnya, dan mendorong pemirsanya untuk jangan takut memulai. Ya tapi itu nyari VC kan susah. Trus salah satu audience bilang ‘why dont you do it?’, si paul cm mesem2 aja. Akhirnya bikin YC sih.

    Lupa gw ini baca dmn gitu

Comments are closed.

Comments are closed.