Business Plan – Perlukah?
Business plan, atau rencana bisnis. Langkah pertama yang alami ketika seorang ingin memulai bisnis baru. Selama kuliah, kita diajarkan untuk membuat rencana bisnis. Buku-buku konvensional juga mengajarkan hal yang sama.
Kesalahan terbesar pertama saya ketika memulai bisnis saya sendiri, hampir satu dekade yang lalu, adalah berusaha memulai dengan “benar.”
Saya ingat telah menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk mempersiapkan rencana bisnis–lengkap dengan segala informasi seperti keuangan, pasar, harga, penjualan, ramalan kemajuan, dan lain sebagainya.
Dengan modal dengkul, dapat Anda bayangkan tentu saja saya harus menebak sejumlah angka karena saya tidak mungkin menghabiskan dana untuk riset pasar. Sisi perfeksionis dalam diri saya mengharuskan saya melengkapi semua aspek tanpa kecuali.
Karena begitulah seharusnya. Tanpa rencana sebuah bisnis tidak dapat dimulai bukan?
Selama beberapa tahun pertama berbisnis, saya mempelajari beberapa hal yang berkaitan dengan ini. Rencana bisnis sesungguhnya tidak perlu sempurna.
Tidak butuh sepuluhan atau seratusan halaman dengan grafik yang indah dan data yang semu.
Proyeksi penjualan misalnya. Pernahkah Anda melihat proyeksi yang menurun?
Kenyataannya, angka tersebut sangat sulit diramalkan. Di negara lain saya tahu kegagalan bisnis lebih lumrah daripada kesuksesan. Rencana ini lebih sering salah daripada benar.
Terlalu banyak faktor yang perlu diperhitungkan. Apalagi di era Internet, penjualan yang sedang lancar mungkin sekali akan terpengaruh hanya karena seorang blogger membeberkan kebobrokan layanan purna jual.
Jauh lebih berharga jika waktu dipergunakan untuk terjun dan langsung berinteraksi dengan permirsa dan pelanggan.
Lalu apakah rencana bisnis harus ditiadakan? Menurut saya tidak. Tapi kita memerlukan sebuah rencana yang fleksibel.
Dahulu Toyota seingat yang saya baca memiliki rencana 500 tahun. Dewasa ini rencana seperti itu hanya akan menjadi lelucon. Perubahan yang terjadi dalam satu abad ini lebih pesat daripada millennium pertama peradaban manusia.
Tidak ada yang dapat meramalkan apa yang akan terjadi. Tidak ada perusahaan yang telah meramalkan akan membangun situs web atau berinteraksi dengan pelanggan melalui jejaring sosial pada tahun 1990.
Lihatlah apa yang terjadi kurang dari 20 tahun kemudian…
Bagaimanapun, bisnis memerlukan perencanaan. Sasaran dan tujuan. Bagi sebagian bisnis, coretan di belakang amplop atau selembar tisu sudah cukup.
Dan Roam, penulis buku Back of the Napkin mencetuskan ide-ide kreatif menggunakan selembar kertas tisu dan pulpen untuk memecahkan masalah. Menurut saya, lebih efektif dari rencana bisnis yang tebal.
Ingin sesuatu yang lebih konkrit? Saya memakai sistem One-Page Business Plan. Satu halaman yang terdiri dari visi, misi, sasaran, strategi dan rencana / taktik.
Singkat, padat, praktis. Lebih penting lagi, dapat diubah kapan saja.
Bagaimana menurut Anda? Perlukah sesuatu yang lebih kompleks? Silakan berbagi pengalaman dengan pembaca NavinoT lainnya.
13 thoughts on “Business Plan – Perlukah?”
Sebagian besar orang sangat sensitif dgn resiko. Kurasa salah satu alasan kenapa orang menyusun business plan. Selain tidak suka berjalan dalam gelap dan benci kejutan yang tak menyenangkan.
Alasan lain, diperlukan untuk mencari funding:d
ya.. saya juga setuju kalo bisnis plan ga musti berlembar2 dan berjubel2.. kecuali, kalo emang punya kapital yang cukup besar buat ngeriset.. tapi, itu pun biasanya dilakuin setelah perusahaan cukup gede, dan mau ngebuat produk baru
one single page business plan emang paling cocok. dan, itulah yang sekarang juga saya geluti, meski bidang bisnis-nya sama sekali jauh dari pengalaman, maupun background pendidikan.. 😀
yang penting adalah, rencana dasar, dan juga pelaksanaan serta evaluasi dan elaborasi.. karena business plan bakal dan akan selalu berubah
Sepertinya sampeyan rancu dengan konsep Business Plan dan Business Pitch.
Business Pitch itu memang biasanya satu lembar. 140 karakter juga boleh kalo mau. Yang penting visi/misi/strategi tersampaikan. Disini biasanya terletak nilai inovasinya. Kebanyakan angel investor menaruh duit, goodwill istilahnya, karena ide disini.
Namun namun namun…..
Business plan selalu perlu. Ini tempat dimana mimpi bertemu angka, “when the rubber hits the road”. Proyeksi revenue tidak harus selalu menaik. Bisa saja turun, namun kita butuh tahu donk kapan kira-kira BEP-nya. Namanya juga bisnis, ultimate goalnya adalah profit. Bahkan organisasi non-profit pun harus punya ‘profit’.
Ada banyak lagi komponen essensial di BP yang nggak bisa dilewatkan. Exit strategy, analisa kompetisi, dan lain-lain. Proyeksi revenue juga wajib. Bukan diliat template by template per se. Namun untuk menilai bahwa strategi yang diambil sudah pas belum timingnya. Misal: jika ada penambahan expense saat gross margin kecil, udah hampir pasti business plan seperti itu dibuang. Hal-hal itu yang nggak bisa disertakan di business pitch.
Referensi: http://bit.ly/4alMqt. Buku bagus.
Klo business plan untuk saya sendiri, paling saya tulis di ponsel. Hanya saja, lebih sering business plan itu bukan buat kita sendiri, tapi orang lain. Klo ada investor minta business plan lengkap, Ok, saya ahli ngarang indah. Mo yang simple, kebetulan, nggak capek ngetik. Klo dengan ngobrol aja dah mo invest, haha, lebih kebetulan lagi…
kalau bisnis pribadi/sampingan/ atau start up ya ga perlu berlembar lembar, 1-2 lembar juga cukup.
Kalo kita ngomongin enterprise ya perlu. Seperti kata @andry, yg cukup vital adalah standar cut loss kita dan exit strategynya 🙂
sebelum memulai sesuatu memang butuh sebuah rencana. Namun rencana hanya refleksi keadaan ketika usaha sebelum dimulain karena kenyataannya kemungkinan-kumungkinan terjadinya rencana tersebut sangat kecil. So, saya sangat setuju sekali dengan konsep one page stratgy.
Daripada pusing memikirkan strategi yang tebalnya berhalaman-halaman. Mending pikiran dan tenaga digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.
Menarik banget klo dicari tahu lebih lanjut tentang ini. Kalau memang teori yang dipelajari di kuliah itu tidak relevan dengan kenyataannya berarti memang benar apa dilakukan orang sukses kebanyakan: “Get out from campus and start business”
soal penting tidaknya business plan, buat saya tergantung “kapannya”. saya lebih setuju pada point bahwa “tidak perlu membuat business plan yang perfect”. sometimes orang terpaku untuk membuat business plan yang sempurna, mencari berbagai referensi. dan ketika diimplementasikan, ternyata tidak seperti yg dibayangkan.
for me, just create your own business plan, with your own style, with your own confident. sebuah rencana yang bisa kita jelaskan sendiri. referensi? jadikan sebagai referensi saja. bukan acuan baku.
saya juga pernah mencoba menyusun business plan yang “seperti orang2 punya”. hasilnya? yg dijalankan mah ngga nyambung ujung2nya hehehe..
tapi ketika usia bisnis saya menuju tahun ke 3, dimana saya butuh mitra yg lebih kuat, ternyata saya perlu menyusun apa yg ada dikepala dalam angka dan data. yang mampu dimengerti orang, dengan standard yg ada 🙂
just 2 cent of me 🙂
Betul sekali yang dikatakan rekan-rekan. Untuk mencari dukungan dana dari venture capital, memang perlu rencana yang lebih solid.
Tapi, di lain pihak, startup tidak harus perlu dana yang besar. 🙂
Dan Billy, saya tidak rancu. One page business plan is a plan, not a pitch.
Oppss.. maksud saya Andry, bukan Billy.
Di samping one page business plan itu, saya memang memiliki marketing plan yang lebih “tebal” untuk operasional kesehariannya.
Terima kasih atas komentar rekan-rekan sekalian.
seorang teman beberapa kali membuat business plan, tapi tidak satupun yg berjalan. perencanaan begitu rapi, tapi eksekusi nol. jadi ingat iklan clas mild, talk less do more
Sebuah artikel yang menarik. Apalagi bisa pas banget dijadikan suplemen dan materi tulisan saya di http://fauzan.dhezign.com/684/indonesia-startup/stop-membuat-business-plan-jika-anda-ingin-sukses/
Thanks a lot
wah artikelnya bagus gan,..hehe jangan lupa kunjungi juga y,.. http://javatreasure.com
Comments are closed.