Freemium Tidak Akan Pernah Mati
Model bisnis freemium bisa dipastikan akan terus bisa bertahan dan tidak akan pernah mati, walaupun di awal tahun ini ada pendapat yang mengatakan bahwa freemium tidak bisa berjalan. Saya menjadi terusik ketika membaca salah satu posting di blog MailChimp, (sebuah aplikasi web untuk melakukan pemasaran melalui email). Intinya posting itu mengatakan…
Kenapa tidak dari dulu MailChimp menggunakan model freemium?, dan baru sekarang MailChimp menggunakan model ini, hasilnya adalah peningkatan jumlah pemakai gratisan, tentu dengan harapan minimal 5-15% pengguna gratisan akan konversi ke layanan premium nantinya.
Memang ada beberapa kriteria yang harus di penuhi jika ingin menggunakan model ini. Tapi di jaman yang serba berkelimpahan akan pilihan seperti sekarang ini, model freemium menurut saya masih merupakan jalan yang terbaik untuk web startup.
Batas yang jelas antara Free dan Premium
Sebaiknya kita memulai dengan memberikan batasan dan pilihan yang jelas antara yang gratis dan berbayar, beserta dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Hal ini akan menanamkan ke benak pengguna yang hanya coba-coba dan yang mempunyai potensial, sehingga pada saatnya nanti mereka akan memilih layanan berbayar, mereka tidak akan ragu.
Biarkan Mereka Mencoba dan Merasakan
Inti dari model ini adalah mencoba, jika kita meluncurkan suatu layanan baru dan langsung menggunakan sistem berbayar, bisa dipastikan layanan kita tidak akan ramai. Seperti yang saya sebutkan tadi, pilihan pengguna sudah banyak sekali, kalau ada yang gratis kenapa mereka harus membayar? Biarkan mereka mencoba dan mengalami sendiri layanan tersebut, sehingga mereka tahu kualitas dari aplikasi/layanan tersebut.
Memupuk Ketergantungan
Selanjutnya kita menciptakan ketergantungan pengguna terhadap layanan kita, ini merupakan trik freemium yang sesungguhnya. Layanan yang kita buat harus bersifat adiksi. Contoh yang paling mudah adalah layanan online file storage/sharing, bagi para pekerja online yang sering mengirim file berukuran besar tentu sangat berguna, trik yang biasa di lakukan adalah membatasi space penyimpanan file. Yang gratis hanya 2gb, dan yang berbayar bisa sampai 25gb. Trik ini bisa di terapkan di layanan apapun, pembatasan akan sesuatu yang penting akan menciptakan adiksi dan eksklusifitas secara tidak langsung.
Berikan Layanan Hebat dan Konstan
Ada beberapa web startup yang membatasi layanan konsumen juga — yang gratis akan dapat pelayanan biasa-biasa saja, dan yang berbayar akan mendapatkan prioritas layanan yang baik. Menurut saya, untuk masalah layanan konsumen, jangan dibeda-bedakan. Layanan untuk yang gratis harus tetap hebat dan layanan untuk yang berbayar harus lebih hebat lagi. Karena selain fungsi aplikasi dan ketergantungan, layanan konsumen juga memainkan hal penting yang transparan. Siapa yang tahu pengguna gratisan akan konversi dalam waktu seminggu hanya karena dia puas terhadap pelayanan yang hebat?
Sebagai bahan untuk berdiskusi, kira-kira menurut Anda, apakah freemium bisa berjalan atau tidak di Indonesia?
Yang paling berpotensial adalah layanan file storage/sharing dengan server lokal, saya melihat ada beberapa yang sudah menerapkan tetapi masih takut-takut, mereka menamakan layanan berbayarnya sebagai donatur/donasi, namun fitur yang didapatkan oleh donatur masih belum cukup untuk membuat pengguna gratisan ikut menjadi donatur juga (termasuk saya).
Perlu sedikit keberanian lebih-kah untuk menggunakan model freemium?
9 thoughts on “Freemium Tidak Akan Pernah Mati”
Wahh, artikel yg sangat menarik!
Tulisan ini jg menginspirasi gw,
Nice post deh 🙂
Sebelum kita membahas apakah freemium itu bisa jalan di Indonesia (provider Indonesia) atau engga, coba kita melihat layanan seperti apa yang kita cari dari service/content provider di Indonesia.
Sepertinya so far, service yang bermutu dari Indonesia yang berpotensi dijadikan fremium adalah content. Spesifik Indonesia, tidak bersaing dengan pemain yang modalnya lebih besar, dsb. Tapi justru spertinya content ini adalah market paling kecil untuk freemium. Karena biasanya content dimonetasi bila contentnya akan dipakai untuk keuntungan komersil, bukan berhadapan langsung dengan publik/end users
ya kalau melihat dari sisi provider (maksudnya jaringan telekomunikasi kan?) memang paling berpotensi untuk di jadikan premium, kayaknya sudah banyak yg coba, dengan sistem “kirim spasi REG blabla” ringtone, games, dll
tapi gimana kalau web start up?
Menurut saya, Model Bisnis Freemium bakal berjalan di Indonesia dengan syarat:
1. Layanan yang ditawarkan memang memenuhi kriteria yang udah ditulis Navinot di sini
2. Pemilik layanan sudah dari awal memang menyiapkan versi Premium-nya dengan batasan yang jelas seperti yang sudah dibahas di artikel ini.
Untuk layanan yg sifatnya mendongkrak produktifitas sih gpp bayar freemium, tapi kalo untuk (konten) yang cuma dikonsumsi keknya berat juga, mending cari gratisan *indonesia banget yah* :p
Klo di indonesia, freemium layak buat mereka yang bisnis hostingan, itung2 memanfaatkan space sebelum laku. Klo utk selain itu.. serem juga. Selain Indo emang tipikal fans gratisan, potensi penggunanya jg belum terlalu banyak. Klo nekat, asal kuat nafas aja…
Di Indonesia? Hmm.. kalo spesifik untuk web kayaknya belum ada ya..?
Belum nemu yang jelas (atau mungkin emang gak terkenal..?)
Hmm,
Sebenernya dengan melihat karakteristik orang Indonesia yang suka dengan ‘free’ sebenernya seberapa efektif sih kalo kita membuat sebuah bisnis dengan metode ‘freemium’ di Indonesia?
Kira2 berapa persentase mereka mencoba layanan berbayarnya dibanding freenya? jangan2 90% lebih minta free lagi hehehe.
Ada ga ya research yang menggali tentang hal ini di Indonesia?
Sepertinya menarik 🙂
Comments are closed.