Hiruk-Pikuk Pasar Maya Indonesia
Bisnis e-commerce macam eBay atau Amazon sudah menjadi cermin kesuksesan di masa lalu. Bisnis internet dengan model business macam itu telah terbukti stabil dan mempunyai siklus pergantian yang lebih lama.
Umumnya, start-up dengan status ‘konsep’ hanya bertahan beberapa tahun, sebelum tergantikan dengan situs sejenis dengan konsep yang lebih baru. Contoh gampangnya adalah evolusi social networking. Yang dimulai dengan eCircle, Friendster, Myspace, dan kini Facebook.
E-commerce terlihat lebih nyata, dengan adanya kebutuhan penjual dan pembeli untuk melakukan transaksi. Layaknya dunia nyata, aktifitas macam ini merupakan penggerak ekonomi yang mendasar.
Maklum saja bila e-commerce terlihat sangat menawan dan menanjikan di masa depan industri teknologi Indonesia. Dengan muncul pemain baru, seperti Juale, Krazymarket, atau Tokopedia, dunia e-commerce Indonesia jadi semakin marak. Tipping point is near?
Dengan latar belakang yang berbeda, serta keunggulan masing-masing, semua masih menghadapi masalah yang sama. Tidak adanya solusi pembayaran yang pas untuk melakukan transaksi di dunia maya.
Kaspay mengandalkan fanatisme pengguna Kaskus dengan metode top-up, tanpa komisi. Secara internal, Kaskus mungkin tidak masalah sebagai solusi untuk FJP Kaskus. Namun untuk urusan dominasi, Kaskus masih mempunyai banyak pekerjaan rumah, agar diadopsi secara lebih umum. Misalnya dengan online store macam Bhinneka, atau bahkan bekerja sama dengan TokoBagus?
NSIAPay tampil lebih mulus dengan solusi online payment gateway, walaupun jumlah per transaksi sangat dibatasi. Apakah NSIAPay masih melihat resiko ini terlalu tinggi? Tapi dengan batasan yang terlalu kecil, apa bedanya dengan solusi micropayment ala BCA Flazz?
Mungkin tidak lama lagi, Plasa.com dan Mojopia akan ‘dipaksa’ untuk mengusung Telkomsel T-Cash sebagai solusi pembayaran. Masuk akal saja mengingat latar belakang mereka yang sama. Tapi, tetap bukan solusi yang pas! Telkomsel customer only? Yang benar saja.
Di sela hiruk-pikuk dunia teknologi Indonesia, para pendatang juga tidak mau ketinggalan. Yahoo! sudah siap masuk ke pasar Indonesia, meskipun tidak secara langsung di dunia e-commerce. eBay dan Paypal juga tidak mau ketinggalan, meskipun masih membutuhkan banyak dukungan dari bank lokal (terbesar). Google juga punya Google Checkout untuk dipertimbangkan.
Satu saran penting, janganlah lengah dengan Facebook! Meskipun berangkat dari kategori social network, Facebook mempunyai asset pengguna yang terbesar. Pengguna sudah menunjukkan gerak-gerik untuk menggunakan Facebook sebagai tempat berjualan di dunia maya. Bahkan Facebook juga tengah mempersiapkan solusi pembayaran untuk memenuhi permintaan macam ini.
Jikalau Facebook berubah menjadi sebuah pasar maya, bukankah ini menjadi pesaing terberat bagi para pemain lokal? 14 Juta pengguna yang berasal dari Indonesia, dan sudah melakukan transaksi buta untuk berbagi keperluan.
Buta dalam arti tidak adanya penengah untuk menangani penipuan dan mencatat reputasi dari masing-masing pelaku transaksi.
Tanda-tanda lain, seperti berbelanja lewat Facebook stream, juga membuat asumsi ini jadi semakin kuat. Bahkan, bila Facebook menerapkan sistem komisi atau listing fee, seperti umumnya online marketplace lainnya, tidak heran bila hal ini jadi sumber revenue baru (dan besar) bagi Facebook.
Sekarang, apa yang akan anda lakukan? Apakah anda lebih memilih berjualan dan belanja di Facebook?
21 thoughts on “Hiruk-Pikuk Pasar Maya Indonesia”
PERTAMAX!!
Sori… ada kata kata kaskus jadi reflex :p anyway, analisis yang bagus mas Ivan. Permasalahan terbesar memang masih dalam micropayment. dan seperti yang sudah saya tuliskan di komntar di posting sebelumnnya, masalah ini akarnya dari regulasi BI.
Jadi yaa… wajar aja kalo masih pada mencari turnaround. Solusi terbaik saat ini adalah dengan mengandalkan sistem top up.
Untuk mendorong pertumbuhan pasar sebenarnya akan lebih bagus jika semua solusi micropayment itu bergabung dan memiliki interoperability yang bagus. Tapi, jangan sampai lengah dan akhirnya hanya dikuasai oleh satu penyedia layanan saja.
Kemajuan dan peningkatan layanan is all about competition right?
Yang horizontal competition tentunya …:)
…… sambil terheran heran melihat komentar yang di top commentator baru 2 comment… padahal kan aku rajin comment disini *sedih
Top Komentator khan di reset tiap minggu. Tiap senin kalo ga salah.
Gw kepikirannya, bisa gak pulsa itu dipergunakan tanpa lewat institusi. Misalnya antar kita menjual dan membeli servis dengan pulsa. Misal NavinoT bikin premium content, subscribe-nya pakai pulsa masing-masing pembaca. Tedious memang, tapi tanpa ada kasus pemakaian, BI juga tidak akan banyak punya dasar membuat peraturan. Catch 22 dah.
Somehow gw optimis, micropayment bisa terlaksana tanpa lewat gateway khusus.
@Toni: Dulu sempat kepikiran juga andai pulsa bisa dijadikan “mata uang” dalam transaksi online. Hanya saja masalahnya top up pulsa di Indonesia, kurs nya tidak 1:1. Beli pulsa 100.000,- bisa cuma modal 95.000,- Karena masalah tidak 1:1 ini lah yang kemudian menjadi susah karena harga beli pulsa berbanding harga jual pulsa tidak seimbang. Belum lagi tiap provider seakan punya kurs mereka masing-masing. Contohnya misalnya 3, top up 100.000 dapatnya malah 300.000. Akan jadi masalah ketika mencoba menguangkan kembali si pulsa itu sendiri.
@NavinoT: Sepertinya menu reply nya sekarang tidak berfungsi ya? Atau browser error semata?
@NavinoT: Forget it tentang fitur reply 😛 Taunya bisa, soalnya kemarin pas nanggapin di artikel lain, reply nya ga nongol di bawah postingan yang saya mau reply. Hehe..
Btw, FB marketplace memang bisa jadi real threat nih buat pelaku e-commerce Indonesia. Sebagai salah satu pelaku e-commerce Indonesia juga, saya coba ambil positif nya saja. Belajar dari Jack Ma, ketika eBay masuk Cina dengan dana gila-gilaan, promosi gila-gilaan, bayangin sampai ada promo register eBay di tempat karaoke, free karaoke 1 jam, Jack Ma malah optimis dan bisa ngambil sisi positifnya, kalau langkah eBay justru akan memperbesar market, orang semakin fasih dengan e-commerce, yang ujung-ujungnya benefit juga buat Alibaba Group (TaoBao).
Intinya masih seputar payment gateway yah…bukankah yg terpenting lebih ke trustworthy..
soal FB,kalau FB lebih reliable knp ngak..
dua-duanya juga penting. Kalau tidak ada payment gateway, trustworthy juga ga bisa mulus. Setidaknya perlu penengah yang mencatat reputasi.
materi e-commerce ini juga sempat saya singgung dalam komentar saya untuk entry tahun 2010 di dailysocial
social media yang menyediakan transaksi di atasnya adalah ide jenius.. That’s a lot of people! Tapi rasanya segitu besarnya pasar bisa berpotensi sebagai noise: bukannya membantu malah membingungkan. We’ll see deh bagaimana jadinya nanti. Mereka musti come up dengna sebuah cara untuk memfilter noise untuk memberikan informasi yang relevan untuk mereka. I guess…. search engine? Mungkin juga + real time search
heheheh.. akan jadi tahun yg menarik bagi kita semua 😀
Permasalahan yang saya temui ketika berbelanja di dunia maya terutama di situs e-commerce Indonesia adalah jarang ditemui yang memakai proses e-banking. Sebagian besar hanya mengandalkan proses transfer bank yang kuno, padahal jika menggunakan metode e-banking pembayaran dapat langsung di validasi.
Tentang e-banking ini, saya sudah pernah coba, di http://www.PernikMuslim.com mereka saya minta untuk mncoba menghubungi BCA, just ASKing gimana caranya supaya bs terdaftar dan make e-banking/e-transfer. Tapi ya nggak ada respon dan dilempar lempar. Karena bank sendiri belum melihat potensi dari medium ini.
Makanya kemarin deklarasi AIWI. Semoga saja bisa membawa warna baru di jalur ‘plat merah’
Tantangan e-com utk booming sebenarnya banyak. Di barat sana dgn standar hidup bea tinggi, ambil margin tinggi masih wajar. Delivery bisa jadi ga kerasa. Klo di sini standar hidup bea rendah. Pebisnis offlinepun berani ambil margin super tipis. Bea delivery retail jd kerasa. Saya pikir setahun ke depan e-com kita masih berkutat sebatas etalase, cek harga, atau market B2B, blom bner2 bisa memasyarakat.
Masalah margin dan harga saya rasa distributor masih banyak berperan. Lagi pula masih banyak macam barang yang bisa dijual online, yang lebih leluasa dan bebas dr peraturan pemegang merk.
Saya rasa fakto convenient pasti lebih besar dr sekedar harga.
turut prihatin aja…
saya koq ya, kalo misalkan berbelanja lebih percaya sama konten lokal..
kao facebook, sepertinya bakal berpikir sampe 20an kali, sementara kaskus atau bhinneka cukup 2-3 kali aja
hmmm boleh tau alasannya kenapa? bukannya facebook yang udah lama berdiri mustinya punya kredibilitas yang lebih ketimbang lokal startup ya?
Wah tak terbayang jika facebook merambah pangsa pasar virtual market. Dengan jutaan member, tentu keuntungan yang diraih bakal luar biasa.
saya lebih memilih mengecek-ngecek harga di facebook, kemudian berbelanja langsung di tempat jualannya
@rendy : Jika transfer melalui http://www.klikbca.com atau http://www.bankmandiri.co.id (sorry sebut nama) itu seharusnya sudah termasuk e-banking kan :D. Transfer ke nomor rekening itu kan tidak berarti harus antri panjang di ATM atau di bank :D. Tapi ini tahap pertama masalah pembayaran. Tahap kedua adalah muncul di bagian menu pembayaran internet banking / atm, seperti yang sudah dilakukan oleh perusahaan kartu kredit, PLN, operator GSM. Ini akan lebih nyaman.
Hanya saja jika urusannya dengan bank besar, belum apa-apa mereka sudah minta komitmen minimal transaksi per bulan, dan juga dikenakan biaya. Rasanya startup lokal kita masih kesulitan untuk memenuhi syarat ini. Andai saja ada bank atau peraturan pemerintah yang meringankan bagi startup akan lebih bagus.
@toni : tambahan sedikit tentang penggunaan pulsa, yang paling susah jika menggunakan pulsa adalah berurusan dengan operator seluler, terutama bagian hitung2an saat akan menarik dana. Berpotensi terjadi discrepancy 😀
Comments are closed.