Do We Really Want Micropayment?
Wikipedia[0] mendefinisikan micropayment sebagai transaksi finansial yang melibatkan sejumlah kecil uang. Paypal mendefinisikan micropayment sebagai transaksi yang bernilai kurang dari 12 USD. Dalam konteks Indonesia, micropayment berarti kesempatan untuk berusaha tanpa terdominasi oleh pemain besar saja.
Kenapa kita menginginkan micropayment?
Lower price is better, for many
Dari sekian banyak Facebooker, seberapa banyak yang mampu bertransaksi di internet? Jika dikembangkan lebih luas dengan cakupan pengguna internet secara umum, berapa banyak yang mampu? Terlepas dari e-book, harga barang yang dijual langsung di internet relatif masih cukup mahal untuk pengguna umum internet. Seberapa banyak dari kita yang mampu berlangganan Flickr Pro? Dalam perhitungan biaya mungkin kita mampu, namun dalam daftar prioritas akhirnya Flickr Pro akan diletakkan di urutan terakhir. Apa jadinya jika Flickr Pro jadi $5 setahun? Harga yang lebih murah membuka akan peluang baru.
Bigger Market
Tak semua barang dan jasa patut dibandrol dengan harga mahal. Beberapa barang dan jasa bisa jadi punya ongkos produksi yang kecil. Jika menjual dalam volume besar tidak masuk akal dalam rangka memudahkan pembayaran, maka terpaksa harga juga harus dibuat micro. e-book dan musik bisa dijual dalam harga micro. Mungkin kita bisa menjual artikel blog, atau komik strip dalam harga mikro tanpa harus membebani pembaca dengan biaya langganan tahunan yang besar. Lebih banyak variasi harga yang bisa dipakai berarti makin besar pula jenis dan cara menjual produk. Lebih banyak pilihan produk lebih banyak customer yang bisa disasar. Artinya pasar yang lebih besar juga.
Kira-kira ada tidak yang salah dengan micropayment? Kenapa kira-kira sampai sekarang micropayment belum juga take off, bahkan dalam konteks internasional?
Penny Gap
Bukan soal ketiadaan payment gateway tapi ada persoalan psikologi juga. Umumnya kita tak suka (terlalu) banyak pikiran. Oleh karena itu kita suka dengan diskon karena kalau pun rugi kita tak akan rugi terlalu banyak seperti saat membeli dengan harga asli. Kita juga suka dengan barang gratis karena nothing to lose.
Ada yang disebut dengan “mental transaction costs” dengan gejala “malas berpikir” seperti yang dicontohkan di atas. Semakin kecil harga kadangkala kita semakin berpikir apakah harga tersebut pantas. Apakah harga edisi digital Cinemags bisa dibandrol 5 ribu, misalnya? Apakah 5 ribu yang akan kita keluarkan akan sepadan dengan isi Cinemags? Kita dapat poster apa saja, ada informasi film baru dan review film tidak?
Atau kita pakai contoh harga sms dan data yang kemarin sempat berlomba-lomba sampai 0,0000…1. Kita dipaksa untuk berhitung, untuk menentukan apakah harga tersebut pantas atau kita tertipu. Proses semacam ini menjadi harga transaksi mental. Harga yang kecil ternyata memicu pemikiran yang kompleks. Pusing.
Competitor
Micropayment memiliki kompetitor. Kompetitor ini adalah advertising[2] . Program seperti adsense telah menjadi standar de facto untuk micropayment. Adsense memberikan kemudahan dalam menjual konten dengan harga mikro. Tak perlu payment gateway baru, hanya perlu pencatat transaksi mikro yang akan mengagregasi semua penjualan kita. Kalau ada yang lebih mudah, kenapa harus memilih jalur micropayment murni yang kompleks?
Jadi bagaimana caranya micropayment bisa sukses?
Micropayment perlu beradaptasi, perlu blending dengan aktivitas sehari-hari. Micropayment harus hadir dalam bentuk yang tak menghadirkan kendala baru.
Referensi
[0] http://en.wikipedia.org/wiki/Micropayment
[1] FREE. Chris Anderson. 2009. Chapter 4: The Psychology of Free. Page 59.
[2] http://donationcoder.com/Articles/One/index.html
16 thoughts on “Do We Really Want Micropayment?”
kalo PayPal, bisa dianggap micropayment ga?
@Adham
Mircopayment tidak tergantung penyelenggara, tapi nilai transaksi. Paypal sendiri bilang micropayment itu transaksi di bawah 12 USD. Di sini pasti tidak sampai segitu lah.
menurut saya, sistem micropayment sangat dibutuhkan para entrepreneur pemula yang menjual barang dengan nilai jual yang kecil (misal: jualan madu per botol, susu kedelai, asesoris, dll). 😀 *sekedar pandangan sang pemula. hihhihi…
btw cara buat account paypal tanpa kartu kredit gimana ya?saya soalnya mau upgrade ke flickr pro jg neh.biar bisa unlimited upload foto di flickr. 🙂
Satu hal yang belum dibahas di artikel di atas adalah economic feasibility dari penyelenggara micro payment itu sendiri. Untuk setiap transaksi finansial yang diproses ada biayanya. Dengan Moore’s law dan komputerisasi, biaya ini semakin kecil, tetapi belum 0. Transaksi financial jauh lebih kompleks dari penyediaan server+bandwidth saja karena sampai sekarang masih ada human cost yang nggak bisa digantikan mesin. Contohnya kalau ada penipuan/fraud bagaimana? Kalau ada kredit macet bagaimana? Tetap masih harus ada campur tangan manual.
Karena biaya overhead ini (fixed cost), lebih menguntungkan bagi perusahaan finansial untuk memproses transaksi besar daripada yang kecil. Dan karena itu pula micro-payment belum bisa jadi nano-payment. Batas $12 dari PayPal itu adalah batas dimana mereka masih bisa bikin untung. Jadi batas “micro” itu sebenarnya ditentukan oleh provider service, bukan oleh penjual atau pembeli.
@Andre
Benar juga. kalau mengadalkan cara yang sama dengan payment non-micro, fee transaksi tidak akan bisa diperoleh. Mungkin bisa jalan kalau diambilkan secara agregat dalam jumlah besar tertentu pada pihak non konsumen. Dan tidak selalu harus dalam bentuk fee transaksi. Mungkinkah?
Di mall aja kartu ATM hanya bisa dipake klo belanja dgn nilai tertentu. Misal tiap nilai transaksi bisa pakai kartu debet, pasti buku tabungan cepet penuh tuh dgn print out transaksi. Btw, duit adsense jg bisa pindah tangan setelah nilai tertentu. $100 klo ga salah. Kumpul blogger tu baru micro. Cemban cair, hehe…
Klarifikasi sedikit: menurut saya micropayments untuk facebook di luar negeri sudah cukup berhasil? Ini bukan statistik formal tetapi saya tahu banyak org yang sudah bertransaksi unutk item birthday / facebook gift. Bukankah itu adalah transaksi mikro?
Selain dari itu saya cukup setuju dengan isi artikel ini sampai ke bagian penny gap. Tapi saya masih blum bisa melihat bagaimana advertising adalah pesaing transaksi micropayment. Keduanya memang berada pada dfomain “revenue”, tetapi metode untuk meraihnya sangat berbeda.
Karena perbedaan metode tersebut, keduanya juga bukanlah sebuah kontradiksi: advertising bisa co-exist dengan transaksi. Memilih satu dari keduanya artinya, by definition, leaving money on the table. Yes, mungkin kita bisa memilih untuk memprioritaskan minum ketimbang makan, tapi bukan artinya kalau kita minum adalah hal yang berlawanan / pesaing makan.
@Pandu
Iya, transaksi micro malah marak dalam term non komersial. Dalam bentuk gift di facebook, pertukaran item dalam game, dll.
Mengenai persaingan advertising dan micropayment, tidak dalam hal revenue. Tapi penawaran infrastukturnya. Advertising sekarang ini malah menjadi penyedia currency, padahal ini sebenarnya lebih jadi tujuan micropayment.
@Pandu
Saya rasa yang di Facebook itu bukan micropayment istilahnya tapi virtual currency. Virtual currency sering dipakai untuk jual/beli virtual goods tapi beda tujuannya dengan micropayments. Ada yang prediksi Facebook akan main di micropayment — masuk akal memang, tapi belum terjadi.
@Toni
Mengenai pembayaran agregat, susahnya adalah micropayments itu 1-to-1 relationship antara pembeli dan penjual dan relationship ini mungkin hanya one-time saja. Kalau seperti AdSense itu kan antara Google ke banyak orang (1-to-many) dan relationshipnya long-term, jadi memungkinkan untuk Google melakukan agregasi.
@toni
Mungkin ini saya yang masih kurang pengalaman tapi saya penasaran. Kalau dibilang pesaing berarti mustinya advertising dan transaksi mikro bertolak belakang: dimana aktivitas yang satu akan menghambat aktivitas yang satunya lagi. Saya terus terang belum bisa melihat chal tersebut dari sisi pragmatis, konseptual maupun fundamental. Saya penasaran akan perbedaan infrastruktur / architecture yang kamu katakan yang menurut kamu menjadikan advertising sebagai pesaing microtransaction.
Boleh dijelaskan lebih lanjut?
Thanks & sorry for bugging but curiosity kills the cat :p
@andre
That’s a nice clarification! 🙂
Dan itu membuka insight baru: kalau transaksi micro memiliki boundary seperti overhead cost (andre), lalu mengapa tidak dibuat sistem virtual bank dimana virtual currency bisa dideposit, disimpan, dan dipakai melalui account pribadi di bank tsb?
No more overhead dan bukan tidak mungkin penny gap (toni) problem bisa termitigasi dengan sendirinya; sama seperti org dengan mudahnya membeli virtual goods di facebook
What do you guys think?
@Pandu
Susahnya adalah standarisasi. Kalau satu virtual currency dijadikan standar, itu mungkin hampir sama dengan membuat negara baru. Akan rumit untuk menyatukan penjual dan pembeli dalam “perekonomian” ini. Lalu perlu ada foreign exchange, peraturan keuangan dll. Kalau semuanya dalam 1 lokasi/platform, virtual currency masih gampang dimanage (contohnya Linden Dollars yang jadi virtual currency di SecondLife.com). Tapi kalau dijadikan standard global internet, penyelenggara virtual currency nanti harus manage ribuan/jutaan pihak. Mungkin nggak ada startup yang punya cukup funding untuk melakukan ini 🙂
@andre
Kalo soal fisibility dan biaya rasanya tinggal tunggu waktu aja. Google mungkin? :p
Dulu mungkin mengorganisir halaman web yang jumlahnya triliunan dimana halaman yang paling relefan dengan query pencarian akan di hasilkan / di return kurang dari setengah detik adalah sebuah impian, tapi sekarang hal itu sudah menjadi biasa.
Jadi we’ll see deh ya..
Mau nanya dunk.. micropayment pake adsense maksudnya gimana yah? Apa user nya diminta klik suatu ads dulu? Jadi misalnya saya punya konten yang “premium”, user nya diminta klik sesuatu dulu baru konten nya ditampilkan? Maaf nubie banget hehe.. Thanks
@Sari
Maksudnya Adsense secara tak langsung dijadikan alat tukar mikro. Pembaca secara tak langsung sudah membayar lewat impresi atau klik (jika memang diklik)
Comments are closed.