Membangun Tim Virtual

Membangun Tim Virtual

Tidak diragukan lagi terlihat banyak perangkat lunak atau software baru ditujukan untuk memudahkan kita bekerja sama secara virtual, kapan dan di mana saja: GoToMeeting, Skype, Basecamp, Google docs, dll. Semakin banyak perusahaan software mengandalkan teknologi tersebut untuk membangun tim-nya secara virtual dan distributed – developers di Mexico dan Indonesia, QA di China dan Vietnam, dalam berlomba menciptakan product yang terbaik. Tanda jelas kalau globalisasi semakin dekat?

Sebagai post saya yang pertama, saya ingin berbagi 5 tantangan yang saya hadapi membangun virtual team untuk sebuah start-up di Silicon Valley: gabungan developer, tester, dan customer service di China, India, Mexico, dan Turki.

Communication

Mungkin ini salah satu hal yang paling sering mengakibatkan sakit kepala adalah komunikasi. Bagi yang sudah berpasangan, Anda pasti tahu betapa sulitnya berkomunikasi secara jelas dengan pasangan Anda. Hanya saja di dalam perusahaan masalah komunikasi biasanya jauh lebih rumit. Karena komunikasi yang kurang baik, sering terjadi software yang dihasilkan berbeda jauh dari apa yang diminta klien.

Keadaan ini menjadi lebih rumit, ketika ada variabel baru di mana anggota tim tidak punya satu bahasa yang sama: language barrier. Dokumen yang Anda tulis dalam bahasa Inggris belum tentu dapat dimengerti sepenuhnya oleh rekan kerja di Vietnam, misalnya. Begitu pula Anda mungkin sampai pada kesimpulan yang kurang tepat setelah membaca imel bahasa Inggris dari rekan kerja di China. Walau tidak ada solusi instan, penggunaan gaya bahasa sangat sederhana dan sering memberikan contoh pendukung yang jelas (seperti diagram, screenshot, wireframe, dsb) — asal jangan over-communicate, dapat mengurangi kesalahpahaman dan kerancuan.

Cultural Awareness

Selain komunikasi, toleransi dan pengetahuan akan budaya lain juga perlu diperhatikan. Cara penyampaian intensi baik di daerah A bisa diterima sebaliknya bila diterapkan di B. Erat kaitannya dengan komunikasi, terjemahan langsung atau direct translation dari satu bahasa ke bahasa lain tanpa memperhatikan konteks juga dapat menambah probabilitas salah pengertian antara anggota.

Satu anekdot: Pernah satu hari, rekan customer support di India mengakhiri sesi chat dengan manajernya, orang Amerika, dengan “Hope you have a busy day!” Walau ungkapan tersebut bermaksud ramah di daerah di mana rekan tersebut dibesarkan, lucu juga melihat manajernya terkejut dan dengan besar hati berusaha mencoba mengerti tanpa bergegas marah.

Pengadaan pedoman komunikasi (imel, sambutan, dll) ketika mulainya terbentuk tim terbukti dapat membantu mengurangi kesalahpahaman akibat perbedaan budaya. Kecuali memang seseorang sengaja bertindak tidak sepantasnya, biasanya dengan cukup waktu dan trial-and-error, kesadaran budaya ini biasanya dapat dipelajari dan dipraktekan dengan baik.

Self Motivation

Tidak semua orang berfungsi dengan baik dalam virtual team di mana setiap individu diharapkan bersifat self-motivated dan mampu bekerja secara mandiri tanpa pengawasan atau struktur eksternal. Faktor penting berikutnya adalah result-oriented, karena tidak ada rekan di sekitar yang sadar betapa intensifnya seseorang berusaha menyelesaikan tugas kecuali pada akhirnya dia dapat mendemonstrasikan hasil akhirnya dengan jelas.

Logistics

Pukul 8 malam hari Minggu di Silicon Valley = pukul 11 pagi hari Senin di pulau Jawa. Perbedaan time zone yang besar ini sering menjadi tantangan yang seru dalam segi pengaturan resources. Seandainya para developer di Jakarta perlu keputusan dari San Francisco untuk menyelesaikan suatu masalah, seseorang perlu memastikan ketergantungan ini bisa segera diselesaikan supaya tidak ada waktu yang terbuang percuma. Jika tidak, developer di Jakarta sudah siap kerja (Senin pagi) tapi perlu menunggu product manager-nya masih pesta di San Francisco (Minggu malam); setelah keputusan sudah terbentuk hari Senin di Amerika, pelaksanaannya akan tertunda menunggu developer di Jakarta siap kembali. Keterlambatan yang biasanya terjadi dalam jam, kini bisa menjadi hari.

Trust

Ini tentunya tantangan yang paling besar untuk membentuk virtual team (apa saja, sebetulnya): memupuk kepercayaan atau trust di antara anggota tim. Trust sangatlah penting untuk mendukung semua point di atas: sebagai basis untuk komunikasi yang terbuka dan menyangga motivasi semua individu yang bersangkutan. Tanpa diragukan, trust memerlukan perhatian khusus di setiap titik perkembangan tim Anda.

Terlepas dari challenges di atas, keberhasilan (termasuk proses untuk mencapainya) untuk membangun virtual team yang sukses sungguhlah berharga. Masing-masing tim member mendapat kesempatan untuk lansung terjun belajar berkomunikasi dengan lebih efektif, meningkatkan kesadaran akan budaya lain, dan mempersiapkan diri untuk proses kolaborasi di dalam pasar global. Belakangan ini saya menemukan kalau pengalaman ini bisa menjadi nilai tambah yang besar dalam résumé Anda.

Apakah Anda mempunyai pengalaman serupa? Mungkin dalam membentuk virtual team dari awal? Atau dari sisi lain, seperti bekerja untuk tim di luar negeri, yang belum pernah Anda jumpai secara nyata? Kami tertarik mendengarkan bagaimana Anda menghadapi beberapa tangtangan serupa di atas. Juga, seandainya tersedia, jangan ragu untuk berbagi tip dan saran di kolom komentar.

PS: Point-point di atas tidak hanya relevan untuk terjadi di perusahaan besar. Sebagai startup, NavinoT juga semakin giat memperkuat virtual team-nya: Ivan di Surabaya, Toni di Jakarta, dan Mulyadi di Silicon Valley. Kami sadar akan tantangan yang ada di depan tapi, dengan dukungan pembaca sekalian, kami siap menghadapinya.

13 thoughts on “Membangun Tim Virtual

  1. wah.. ini konsep yang emang seringkali ditemui dalam sebuah tim. ga cuman tim virtual yang mengusung start up, tapi juga langkah2 awal dalam membuat sebuah usaha.

    dan, komunikasi memang menjadi faktor utama, sehingga sangat pantas jika dijadikan nomor 1 pembahasannya..

    +1 LIKE IT!

  2. @Billy: Betul, sebagian besar dari rangkuman di atas berlaku untuk pembentukan tim atau usaha secara umum. Yang menarik, menurut pengalaman pribadi, adalah kompleksitasnya ketika ditambah perbedaan bahasa dan budaya.

    @jacobian: Terima kasih. Favorit saya adalah “How the project was documented” (pojok kiri bawah) — sounds familiar?

  3. Excellent post, Mulyadi. Pengalaman saya, infrastruktur juga sering (masih) jadi masalah. Conference call Skype dari Singapura ke Jakarta saja masih putus-putus, lag, dan sering dropped.

  4. Pembaca sekalian ada saran untuk mendapatkan koneksi internet yang baik di Jakarta atau Surabaya atau kota lainnya? Kebetulan saya bulan depan perlu kerja _remotely_.

  5. Tantangan yg berat untuk ini biasanya di tahap awal perencanaan, karena mulai diskusi soal ide sampai diputuskan basic plan sesuai target development biasanya perlu komunikasi yang lebih dari sekedar voip atau chat.

    Tapi jika basic plan sudah jelas dan schedule sudah matang, sepertinya hampir tidak ada kendala lagi untuk team virtualnya.
    Untuk dokumentasi keseluruhan (bukan hanya code) bisa dibuat forum internal, dengan rules tentunya. untuk daily brainstorm bisa buat private chanel irc, kenapa irc? di irc anda bisa membuat chanel/room jadi konsisten (24jam live dengan bot yg bisa set MOTD “today plan” misalnya), jadi tidak perlu invite to join room seperti pakai yahoo.

    Sedangkan voip tidak terlalu membantu untuk ini, jangankan conv antara indo dan china.. orang jawa dan batak pun kadang2 bermasalah sama intonasi 😀

  6. Apa yg saya dan teman2 lakukan selama ini baru sekedar ‘setengah’ virtual. Model kerja virtual ini dimaksudkan untuk berhemat. Bayangkan kalo semua angota berkumpul di kantor kami yang kecil. Belum lagi waktu dan biaya yg habis krn jarak yg jauh.
    Kenapa setengah? Kembali ke kultur bangsa kita. Tatap muka masih dibutuhkan meski sedikit. “Kalo gak ketemu gak mantap” begitu katanya…

    1. Ini juga salah satu macam pertanyaan yang sering muncul dalam komunikasi secara virtual: beberapa anggotanya kadang tidak yakin akan lokasi anggota yang lain (walau sudah diperjelas).

      Iya, seperti yang tertera di profil, posisi saya sekarang di Silicon Valley.

  7. Artikel yg menarik, bos. Kami juga sedang mencoba, walaupun dgn skala yg kecil. Tapi kontributornya berlainan kota semua…komunikasi cuma ngandalin email, YM, google docs dan sms… 🙂

    Thanks buat sharingnya.

  8. IMO, yang paling berat ada di kultur. Tikipal manusia itu beda-beda banget. Sama-sama coder, tapi kalau yang satu hobi makan nasi dan satu lagi makan pasta karena berasal dari dua negara, akan jauh sangat berbeda. 🙂

    Tim saya kebanyakan berlokasi di Maine. Kultur US amat tinggi dalam mendekati dan mengeksekusi proyek. Sementara client kami (termasuk vendor dan freelancer) kebanyakan di Eropa Barat (yang punya kultur sendiri yang amat berbeda dalam mengerjakan proyek). Kalau confrence pakai bahasa Inggris (*Sebab salah satu keuntungan virtual team adalah menghemat ongkos perjalanan. Hehe*). Tapi tetap saja yang memiliki bahasa ibu bahasa inggris akan mendominasi percakapan.

    Kenapa kultur dan komunikasi jadi sering kendala? Sebab seringkali ada peristiwa ajaib berlangsung. Misalnya ketika konfrensi melalui telepon (kami pakai jasa ATT supaya jernih) tiba-tiba kami mendengar suara riuh (sebab ternyata ada pesta kemerdekaan tengah berlangsung di negara peserta salah satu confrence). Atau karena susah menyampaikan pendapat, rekan team virtual tiba-tiba nyerocos pakai bahasa ibu lalu beberapa detik kemudian menterjemahkannya ke bahasa inggris. Hehe.

    Kalau self motivation dan trust, nampaknya sudah tidak ada masalah. Sebab ada kursus dan ujian mengenai code of ethics yang berlaku (isinya berubah tiap tahun, disesuaikan dengan kondisi dan situasi) serta audit personal dan team.

  9. GREAT MOMMENT. tolong dong kasi kelemahan dan kelebihan virtual team, permasalahannya apa dan apa solusinya?trims

Comments are closed.

Comments are closed.