Startup doesn’t matter, DIY culture does
Circa 2009-2010, Indonesia terkena demam yang bersumber dari Silicon Valley. Bocah nakal yang membangun Digg jadi role model. Sosok sempurna, pemberontak, yang tak mau mendengar kata orang lain. Impossible is possible. Dan berbagai ide konyol extra ordinary pun bermunculan. It’s about being cool. And hopefully a billionaire in the next morning.
DIY — Do It Yourself — adalah akar dari startup. It’s about scratching your own itch karena solusi yang ada tak dirasa mencukupi. Mulai dari membuat sesuatu yang baru atau menjadi gila dengan jalan re-inventing the wheel.
Growing up sucks.
Perkembangan dari tren hobi di garasi (2008) menjadi tren unit bisnis yang waspada finansial (2012) — pergeseran definisi startup — adalah hal yang patut diacungi jempol. Tapi bersama dengan pergeseran ini, rasanya kultur DIY juga jadi menyurut. Well, mungkin “pehobi garasi” jadi banyak yang menyadari bahwa starting-up itu tak sekedar membangun website. Seminar startup sudah menampar dengan keras, investor akan tertawa dalam hati: holy crap, what this person is trying to pull out with this silly idea.
Tren baru adalah memulai perusahaan sendiri. Banyak investor yang mulai mendanai perusahaan lokal. Kita pun merasa lebih dekat dengan citra Silicon Valley. Sementara itu, di akarnya kita justru tercerabut. Kita malah kehilangan spiritnya — kultur DIY. Kita seperti tercuci otaknya dan menghentikan semua ide jika tak mengarah ke model-model startup.
Should I blame mobile trend?
Web was the norm. Mashups were the the cool buzzword. Nowadays, people gravitates toward mobile app — so said where the money is. Developers gravitate to the end of the spectrum and only an a small fraction focuses on developing the platform.
Kalau tren mobile tak datang, evolusi web bakal lebih gila karena jadi single platform tanpa saingan. Kini, bahkan next trend pun diperkirakan lebih cenderung mengarah ke mobile. Mobile is the future.
I miss those geeks with those fool ideas. Tunggu, tunggu. Kita (pernah) punya kultur (web) DIY?
PS:
Kalau ada seminar startup atau developer conference, mbok yao undang-undang orang macam Ariya Hidayat.
Bro, kulturnya bro.
Foto oleh jimgris

5 thoughts on “Startup doesn’t matter, DIY culture does”
DIY? Apa itu? Tahunya kan bikin startup itu agar bisa cash-in quickly, syukur2 dibeli the big guys 🙂
@affanzbasalamah hehe. itulah. long term efeknya gak terlalu oke buat kaum pemimpi macam saya 😀
@neofreko Insight di artikel di atas saya pandang sebagai kegalauan melihat iklim startup itu sebagai iklim “another get-rich-quick scheme” aja. Kalau mau kaya, ya kerja aja di bank, atau bisnis batubara atau sumur minyak, nggak usah capek-capek main di IT.
IT itu dulu tempatnya pemimpi, hacker yang nggak mikir (atau karena nggak tahu caranya) utk cari duit. Karena kulturnya hacker atau ngoprek, jadi lebih lengkap perspektifnya. Masalah oprekan itu bisa jadi duit, ya tinggal digarap, tapi kemampuan bikin problem definition itu yang akan didapat kalau kita jadi hacker.
Kalau perspektif nya nggak lengkap, nggak yakin startup industry itu bakal sustain, nggak akan siap berubah dgn cepat. Mbakar duit mah iya.
navinot nulis tulisan lagi dong. kangen nih
navinot bikin tulisan anyar dong. kangen nih
Comments are closed.